Minggu, 26 Juni 2011

TIMBANG-TIMBANG BANTENG SITARO TUMBANG


Tulisan ini telah dipublikasikan melalui Harian Media Sulut pada bulan Juni 2011 yang lalu. Berikut salinannya:

Bupati Sitaro; Toni Supit, minggu lalu telah mengangkat Heydi Janis sebagai Sekda Sitaro menggantikan Sekda lama, Palandung. Heydi Janis sendiri adalah salah satu pejabat senior yang turut serta bekerja dalam suksesi Pasangan SUKUR pada Pilkada 2008 lalu. Beliau kakak kandung dari John Janis, anggota DPRD Sitaro dari fraksi PDIP.

Ketika menjabat  Ass. III, peranan Heidy Janis amat menentukan dalam menata-layani kebutuhan anggaran daerah dan mendistribusikannya ke seluruh SKPD. Dengan karakteristik kepemimpinan “tangan besi” berhasil dibangun sebuah “unit oligarki birokrasi”.  Dialah “otak” birokrasi Sitaro, meski kepalanya adalah Palandung. Kepala hanya dapat diperintahkan otak untuk bergerak ke kanan ataupun ke kiri sesuai kehendak otak yang telah merespon berbagai stimulus dari luar.  

Palandung sendiri diduga sebagai “titipan orang kuat” di Provinsi Sulut yang berafiliasi dengan Sarundajang. Oleh sebab itu, tidak mudah bagi Toni Supit menggeser “kursi Sekda” sejak awal pemerintahannya.      

Heydi Janis, pria yang dikenal amat tegas dalam kepemimpinannya selama menjadi Asisten Tiga itu, kini menjadi orang nomor satu di jajaran birokrasi. Justru di penghujung pemerintahan Sukur. Mengapa? Ada maksud apa? Dua pertanyaan ini tidak sulit dijawab. Cukup dengan mengetahui siapa di balik “kecerdikan” Toni Supit dalam berpolitik.

Mari kita tengok ke masa PDIP menumbangkan Golkar pada pasca Pilkada 2008. Beringin Tindas benar-benar dilindas oleh kepiawaian sejumlah politisi baru semacam Djibton Tamudia, Benyamin Kanarang, Jhon Janis, Cs. Djibton Tamudia selaku sekretaris DPC PDIP Sitaro piawai memainkan percaturan politik lokal. Beberapa pion berhasil digiringnya menjadi perwira. Djibton sendiri berhasil membawa dirinya menjadi jendral (Ketua DPRD Sitaro). Salah satu trik yang dipraktikan Djibton adalah memanfaatkan “dozer” untuk menggusur birokrasi.  Sebutlah dozer itu adalah Heidy Janis.

Pada awal pemerintahan SUKUR, situasi transisi menjadi peluang bagi Djibton untuk memantau dinamika politik sambil menciptakan “ketakutan-ketakutan” atau ancaman/tekanan psikologis pada tubuh birokrasi, terutama terkait dengan stimulan kebijakan mutasi. Stimulan itu berhasil dibentuk. Para korban kebijakan menjadi bingung. Mereka dibuat tidak tahu kalau gagasan pemutasian berawal dari mana dan diotaki oleh siapa. Sebagai PNS, hak politik untuk tahu, dipasung dalam kerangkeng kebijakan laten daerah. Kebijakan tidak tertulis, tetapi selalu diperingatkan pada setiap apel pagi para pegawai dan disinggung secara eksplisit pada pidato-pidato tidak resmi bupati Toni Supit.    

Perlawanan dan tuntuan mahasiswa Sitaro tidak digubris, mala distigmaisasikan sebagai sebuah perlawanan yang hanya menciptakan keresahan sosial. Beberapa kali mahasiswa berusaha merajut komunikasi dengan Pemda. Semua upaya gagal. Niat membicarakan secara baik-baik tentang kebijakan-kebijakan Pemda selalu berakhir dengan menabrak tembok. Saluran komunikasi ditutup. Para eselon tiga dan eselon empat tidak berani melayani keperluan mahasiswa. Sementara orang tua mahasiswa yang berpredikat sebagai guru/PNS, menciut dan melarang anak-anaknya terlibat dalam gerakan-gerakan yang dipersepsikan melawan pemerintah.

Bagi Djibton Cs, kekuatan mahasiswa mungkin bukan ancaman terhadap kekuasaan yang kini direnggutnya. Dengan melancarkan “politik ketakutan” melalui tangan-tangan ketiga, keempat dan seterusnya, niscaya riak-riak yg digerakkan mahasiswa ,tidak akan pernah menjadi gelombang yang mengancam ataupun menjadi arus yang dapat menghanyutkan. Frekuensi suara mahasiswa tetaplah surau dan memantul ibarat boomerang, menghantam batang leher mahasiswa. Apalagi diketahui kekuatan mahasiswa tidak dibackup dengan financial yang memadai. Sementara, Djibton Cs, dengan kecerdikannya, mampu mengakumulasikan dana untuk membiayai kepentingan-kepentingan politik yang hendak diperjuangkannya.

Dengan demikian segala urusan pelayanan publik dan pemanfaatan keuangan daerah dapat disetel dari sebuah rumah kecil di bilangan Tarorane. Di rumah milik Pi Nan, sepupu dari Ci Mei selaku bendahara pasangan Sukur sewaktu Pilkada 2008 berlangsung. Setelah semua urusan dishare kepada para kolega dan keluarga, kemudian ditandatangani oleh kepala-kepala SKPD dan terakhir dibakukan oleh Sekda. Hasil share jatah proyek tersebut dilakukan, ada atau tanpa Toni Supit. Untuk urusan share pembiayaan semacam ini, Djibton dibekali dengan sejumlah pengetahuan sebagai diploma akuntansi yang cukup mahir. Pengalamannya bekerja mengelola beberapa perusahaan kayu di Kalimantan dan bertahun-tahun bekerjasama mengembangkan usaha milik dari sepupuh Toni Supit, membuat pria yang sudah tak beristeri itu semakin tajam membaca efektivitas anggaran.

Alhasil, skenario besar Bogar (panggilan untuk Djibton) untuk menggolkan cita-citanya menjadikan Toni Supit sebagai bupati dan dirinya sebagai Ketua DPRD berhasil dibangun. Dua komponen otak daerah (legislatif dan eksekutif) kini dikuasai. Langkah selanjutnya adalah menentukan siapa yang akan mengamankan garis terdepan di jajaran birokrasi. Tentunya, diperlukan sejumlah kriteria tertentu untuk menentukan siapa orang yang tepat. Pilihan harus jatuh pada figur yang mempunyai komitmen untuk melindungi kepentingan penguasa dan mempunyai link yang kuat. Tidak hanya itu, pilihan juga menyasar pada sosok yang terampil dalam melakukan loby-loby serta memahami benar persoalan mekanisme anggaran. Agar semua “dosa” mengenai share anggaran daerah dengan potongan fee yang signifikan tetap terbungkus rapih dan sulit dijangkau oleh perangkat hukum.

Mengenai pembagian jatah proyek, Djibton Cs menggunakan standar ganda. Yang dimaksud dengan standar ganda dalam tulisan ini adalah kriteria yang bertingkat-tingkat. Kriteria pertama yang dapat diberikan jatah proyek adalah setiap orang yang telah memberikan pengabdiannya pada Pilkada 2008 untuk menggolkan SUKUR, standar kedua adalah setiap orang yang sudah menentukan pilihan untuk memilih PDIP atau yang sudah mempunyai Kartu Tanda Anggota PDIP. Dan kriteria ketiga adalah setiap orang yang masih ingin setia sekaligus bersedia membayar 10% dari total nilai proyek kepada bupati diluar potongan pajak dan potongan lain. Ketiga kriteria di atas tidak boleh dilakukan secara parsial.

Seseorang yang ingin mendapatkan jatah pekerjaan proyek diluar dari bingkai keluarga penguasa harus tunduk pada kriteria ganda itu, termasuk kader partai. Jika mereka hanya memenuhi standar pertama atau sampai pada standar kedua, tetapi tidak melakukan standar ketiga, maka jangan harap proyek dapat diraih. Orang-orang yang akan menjadi kolektor dana fee tersebut adalah para kepala-kepala SKPD dimana proyek itu dialokasikan atau langsung kepada Djibton untuk proyek yang bersifat Penunjukkan Langsung. Bupati dengan sendirinya tidak pernah tersentuh dengan skenario semacam ini. Akan tetapi, semakin banyak yang dilobby ke Jakarta, semakin banyak pula fee yang diperoleh penguasa,  semakin banyak pula infrastruktur yang terbangun, yang menimbulkan kesan seolah-olah tidak ada persoalan dalam urusan pemerintahan, padahal kualitas proyek patut diragukan.

Sejauh ini, pemerintahan di bawah kuasa PDIP Sitaro ternyata hanya mampu melakukan loby ke Jakarta, mengambil uang hutang Negara untuk membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, sekolah-sekolah dan sebagainya. Sisanya dipakai untuk ongkos jalan-jalan dengan dalih studi banding. Sementara perangkat regulasi yang digunakan untuk menggalang partisipasi masyarakat agar terdorong membangun dirinya sendiri belum kunjung diperdakan. Rencana untuk menata kabupaten menurut potensi pulau-pulau dan kawasan belum kunjung selesai dibahas hingga akhir periode kepemimpinan Banteng Merah (Toni Supit dan Djibton Tamudia).

Suara signifikan Banteng Sitaro pada Pemilu 2009 lalu membuat struktur parlemen berubah jauh dari sebelumnya. Kehadiran partai-partai baru semacam Gerindra dan Barnas tidak membuat parlemen dinamis, justru makin memperkokoh kekuatan Banteng. Strategi koalisi jelang Pilpres antara PDIP dan Gerindra berhasil dibangun. Hingga pada kondisi politik sekarang ini, peranan Gerindra tidak lebih dari “kaki” atas kepentingan Banteng. Padahal, tidak banyak hal yang dikerjakan dapat menguntungkan Gerindra dalam hubungan power sharing dengan PDIP. Artinya, SDM Gerindra tidak mampu memainkan fungsi kelembagaannya dalam parlemen dan cenderung mulai kehilangan identitas kelembagaan dan orientasi sebagaimana visi partainya.

Politik yang dimainkan Gerindra Sitaro adalah politik tak berdaya. Lebih parah dari politik yang dimainkan Golkar saat ini. Meskipun Golkar memiliki sejumlah alasan strategis di balik “Gerakan Diam” yang dilakukannya kini. Sekadar menunggu momen yang tepat, apakah Golkar akan benar-benar menjadi “tandem” atau mempersiapkan “tameng” agar kembali merebut kursi terbanyak pada Pemilu 2016.

Dalam konstelasi politik semacam ini, pada tataran fungsi kemitraan pemerintahan, baik lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif di Sitaro, nampak seperti sedang membangun struktur perpolitikan semu. Ibarat sebuah keluarga, peranan Toni Supit selaku kepala daerah dan Djibton Tamudia selaku Ketua DPRD seperti suami dan isteri dalam satu ranjang, tetapi masing-masing melakukan mastrubasi politik. Tidak benar-benar berhubungan intim dan melahirkan kebijakan yang menguntungkan bagi daerah. Begitu pula mastrubasi ini berlangsung dalam hubungan Beringin Sitaro pada posisi Ketua DPD II yang dikendalikan Piet Kuera selaku wakil bupati. Sesungguhnya, antara bupati dan wakil bupati terjalin hubungan semu, yang sulit disangkali.

Pembangunan dalam bidang politik akan diwarnai dengan kemunafikan-kemunafikan. Birokrasi menjadi sarang bertumbuhnya praktik-praktik amoral dan KKN. Pers akan dibungkam dengan duit. Ketegangan sosial akan memuncak jelang pesta demokrasi. Rakyat menjadi bimbang. Situasi chaos segera datang menghampiri. Lihat saja, dalam kurun waktu 3 tahun, DPRD belum memiliki satupun Perda sebagai inisiatif mereka. Birokrat terlampau lama menyusun draft Perda Tata Ruang karena menunggu regulasi dari rahim pemerintah pusat yang mengidap phobia otonomi. Aspirasi dari mereka yang menyadari situasi genting, dimasukan dalam “kotak kedap suara” dengan ancaman akan direcall.

Personil dari lembaga-lembaga Negara, semacam Kejaksaan, Kepolisian dan BPK yang melakukan intervensi kedalam tubuh pemerintahan, dibujuk satu per satu sebelum agenda kerja mereka dilakukan. Pada akhirnya pemeriksaan yang hendak diterapkan sebenarnya hanyalah sekadar pengecekan atau sejenis upaya konfirmasi untuk memeriksa apakah benar pengisian dokumen sudah sesuai dengan arahan dan kesepahaman bersama yang dibungkus oleh kepentingan-kepentingan laten. Sebaik apapun kecerdikan membungkus kebusukan-kebusukan politik, akan dapat diketahui publik. Kondisi yang dibangun petinggi-petinggi Banteng Sitaro tersebut, dapat membahayakan lembaganya sendiri. Sekeras apapun rakyat berteriak tentang kebijakan yang berpihak pada kebutuhan publik, takkan pernah diindahkan.
Bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar