Rabu, 18 Desember 2013

MENCARI(MU) NUSANTARA

Jejakmu terhampar di pantai pasir
lalu disapu ombak
langkahmu bersusun tanah liat
tidurmu berselimut daun-daun
kau tinggalkan pesan berkarung-karung

segra kukemas dalam seuntai sejarah
tentang datu-datu menderetkan nusa-nusa
aku kembali pulang
mencari(mu)

kuletakkan kau terdepan dari sejuta nusa
di nusantara

Rabu, 19 September 2012

BROKEN HOME SEBAGAI FENOMENA HANCURNYA PERADABAN MANUSIA (Tinjauan Sosiologis Terhadap Perubahan Struktur Keluarga)

Masyarakat sebagai suatu sistem akan terus bergerak dan hidup bilamana komponen-komponen pembentuk sistem masih dapat berfungsi. Komponen paling mendasar dari sistem masyarakat adalah keluarga. Pada mulanya, peradaban manusia terbentuk dalam rupa keluarga. Sejak manusia meninggalkan zaman promiscuitas (kawin dengan banyak pria atau wanita tanpa ikatan perkawinan) dan membentuk keluarga melalui ikatan perkawinan, maka sejak saat itu keluarga (nuclear familly atau keluarga inti) memberi sumbangan yang sangat besar bagi keteraturan sosial. Kondisi ini terjadi kurang lebih ratusan bahkan ribuan abad yang lalu dalam sejarah masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia.

Melalui keluarga, kerjasama seorang manusia dengan manusia lainnya menjadi lebih mudah dilakukan. Keluarga benar-benar menjadi lembaga utama dalam bidang produksi. Boleh dikata, peradaban manusia dalam kehidupan bermasyarakat terwujud ketika perkumpulan keluarga-keluarga saling mengikat dan membentuk jaringan sosial yang lebih luas. Bentuk ini didefinisikan oleh para ahli sebagai Keluarga Luas (extended familly). 

Pada abad ke 18 terjadi revolusi industri. Teknologi membantu manusia dalam bidang produksi. Kemudian faktor manusia mulai kurang difungsikan. Bahkan manusia lebih condong mengharapkan teknologi dalam memecahkan pelbagai masalah dan kebutuhannya. Pada akhir abad 19 atau awal abad ke 20 ketika pesatnya perkembangan teknologi semakin tak terbendung, zamanpun mulai bergerak ke industrialisasi. Di kota-kota besar dan di negara-negara yang memproduksi teknologi dalam kapasitas besar, telah mengalami perkembangan yang luar biasa cepat mengubah struktur wilayah pemukiman dan gaya hidup manusia. Urbanisasi meningkat, budaya-budaya tradisional bergeser, tanah dikuasai oleh pemilik modal besar, petani kecil kehilangan tanah untuk memproduksi kebutuhan dasar yang diperlukan mereka, laut dikuasai oleh pemilik modal sehingga nelayan kesulitan mencari ikan. Zaman benar-benar berubah dari masyarakat produksi menjadi masyarakat konsumsi. 

Hanya dalam hitungan kurang dari 2 abad lamanya, teknologi mampu mengubah bentuk muka masyarakat menjadi lain dari sebelumnya. Kepercayaan pada sesama manusia sebagai syarat utama bagi manusia untuk bisa melangsungkan interaksi sosialnya mulai luntur. Simpul-simpul yang menghubungkan ikatan keluarga dengan keluarga yang lainnya pudar. Bahkan hubungan suami isteri pun harus berakhir pada situasi broken home atau sekurang-kurangnya menjelma menjadi keluarga dengan struktur muka yang baru, yang disebut oleh orang Amerika sebagai Single Parent. Jika dahulu kala Keluarga Luas dapat dipimpin oleh satu orang kepala keluarga, kemudian menyempit luasannya pada Keluarga Inti yang beranggotakan 3 sampai 4 orang yang dipimpin oleh satu kepala keluarga, bahkan kini sebagai dampak dari Broken Home sudah ada keluarga dengan satu anak dan satu kepala keluarga. Di kemudian hari, sangat mungkin keluarga sudah tidak ada lagi hingga keadaan dunia akan menjadi anomi (tanpa nilai).
Amerika dan negara-negara modern lainnya yang beraliran kapitalis telah sukses memproduksi bentuk baru keluarga modern ini. Sementara negara-negara sosialis dengan pola kerjasama yang solid berubah bentuk menjadi separuh materialistis yang mendasari tindakan individu maupun tindakan sosial berdasarkan pada materi seperti halnya China. Bagaimanapun, landasan kerjasama China dalam sistem kekeluargaan yang bercorak materialistis itu berbeda dengan pola budaya bangsa-bangsa di Indonesia yang sosialis-komunal. Negara-negara yang mempunyai kemiripan pola budaya dengan Indonesia rata-rata mengalami perekonomian yang rapuh dan belum menemukan bentuk aslinya, meskipun kini sedang ada upaya untuk merevitalisasikan kebudayaan secara holistik dalam konteks kehidupan bernegara guna menemukan cetak biru kebudayaan nasional. Mudah-mudahan upaya pemerintah Indonesia akhir-akhir ini dapat mencegah terjadinya chaos yang berujung pada anomi

Artikel ini sekedar mengingatkan bahwa keadaan masyarakat kita tengah berada pada kondisi yang rapuh yang ditandai dengan meningkatnya perceraian dan adanya fenomena single parent. Tetapi saya tidak mengajak para pembaca untuk membenci kehidupan para single parent, sebaliknya marilah kita hargai perjuangan mereka yang tengah berupaya keras mempertahankan kerusakan nilai-nilai kekeluargaan dan tetap mempertahankan meskipun dalam bentuk yang paling minimal (smart). Para bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah bercerai dari isteri-isteri dan suami-suami mereka, tetapi memiliki tanggungjawab mengurus anak, teruskan perjuangan muliamu itu demi peradaban manusia.
     
   

Selasa, 18 September 2012

TEKANAN: Paradoks Dua Unsur Dalam Diri

Saat saya menulis bagian ini, saya berada pada situasi dimana volume kerja pada tingkatan yang cukup tinggi. Saya baru saja menjalankan sebuah amanah yang dialamatkan pada pundakku sebagai pikulan dalam karier yang selama ini kujalani. Amanah itu kukerjakan selama satu minggu. Sendirian. Beberapa orang yang lain sudah diberikan tugas mengerjakan bagian yang seharusnya dikerjakan. Tetapi belum juga terwujud. Konsekuensinya, aku harus menyediakan waktu, pikiran dan uang yang cukup untuk mengerjakan seluruh amanah itu sampai tiba waktu yang ditentukan itu datang. Singkatnya, tugasku berhasil dengan susah payah. Mereka yang diberikan tugas membantuku justru mengolok-olok seraya minta bagian yang dianggap sebagai jerih payah bersama yang harus dibagikan merata. Padahal, untuk merampungkan semuanya, separuh pengembalian biaya yang kukeluarkan dari kantong pribadiku belum cukup menutupi total pengeluaran. 

Desakan kebutuhan sehari-hari adalah urusan paling mendasar. Jika seminggu tak mengerjakan suatu pekerjaan produktif, maka jelaslah saya harus mengejar tujuh hari untuk menebus kondisi yang terabaikan itu. Semakin hari berganti, semakin kuat tekanan. Teknik bersusun teknik digunakan mengejar ketertinggalan pun seakan-akan tiada manfaatnya. Barangkali hanya sesuatu yang tak terdugalah yang bisa menangkis tekanan-tekanan itu. 

Pada situasi sedemikian rupa, saya mendapat tawaran kerjasama dari Tim Peneliti yang dipimpin oleh Dr Alex Ulaen. Dia seorang peneliti budaya di Universitas Sam Ratulangi Manado. Saya diundang ke sebuah pertemuan yang membahas persiapan kegiatan penelitian dan kepadaku diberikan tugas oleh ketua kelompok Dr Ivan Kaunang untuk menyusun proposal penelitian tentang kearifan lokal yang berkaitan dengan pembentukan watak dan karakter bangsa. Hanya empat hari waktu yang diberikan. Sementara aku harus mengejar target lama yang belum terkejar. Tepat pada hari ketiga, pekerjaan itu kelar. Di sela-sela pengerjaannya kusisipkan waktuku untuk merumuskan beberapa pekerjaan serupa dengan hasil yang cukup untuk menjawab kebutuhan dasar keluargaku. Beberapa kali aku berhenti dan kemudian berpikir jauh ke belakang ketika masih kecil. Aku tidak pernah mengalami tekanan sehebat ini. Sebab pada masa itu, anak-anak seperti kami sudah bisa mengatasi kebutuhan ekonomi keluarga meskipun dengan memungut buah pala yang jatuh dari pohonnya. Kami sudah bisa makan. Di sini, di kota ini. Saat ini, saya harus menekan tuts laptop dari pagi sampai pagi. Kalau tidak demikian, saya dan tanggungjawab saya akan stag di tempat yang suram. 

Dalam bentuk yang berbeda, tekanan di hati. Hatiku pun menuntut makna perhatian dan kasih sayang. Aku seperti sedang berhadapan dengan kebencian yang besar ketika hatiku menuntut. Tiba-tiba logika berbicara lain dari sanubariku. Tak boleh sedikit ada yang mencurigakan. Aku langsung mendikte. Sungguh antara hati dan logika itu adalah jurang yang amat lebar. Kelak, mampukah diri ini mempersempit jurang itu?

TRILOGI MATELENG-MATELANG-MATELING


Mateleng
Mateleng adalah bahasa etnis Sangihe subetnis Siau, yaitu kata kerja yang dirangkai dari dua suku kata yakni “ma” yang berarti mengerjakan sesuatu dan “teleng” yang berarti dengar. Dengan demikian mateleng dapat diartikan langsung kedalam bahasa Indonesia modern sebagai “pendengar”. Dalam bahasa Manado kontemporer, terdapat kata kerja “pangbadengar” yang artinya orang yang suka mendengar atau orang yang patuh. Jika pengetian mateleng dipadankan dengan pengertian “pangbadengar” maka akan menghasilkan pengertian yang terlampau sempit maknanya.

Orang Siau memaknai mateleng bukan sekedar tindakan pasif memasang kuping. Melainkan diperluas maknanya sampai pada tindakan untuk memastikan bahwa apa yang sudah didengarnya harus dapat dibuktikan secara empirik. Dengan demikian urusan mateleng bukan hanya urusan telinga, tetapi juga merupakan urusan seluruh panca indera manusia. Apa yang didengarnya harus dapat dilihat, dicium, diraba dan dirasakan. Bagi orang Siau, semakin banyak mendengar, maka semakin banyak yang dikerjakan. Sebaliknya, orang yang kurang mendengar adalah orang yang kurang aktivitasnya alias orang malas. Etos kerja orang Siau itu pertama-tama terbentuk dari pendengarannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang terganggu pendengarannya karena cacat lahir, seperti orang bisu misalnya, sering menjadi subjek pembanding bagi orang tua (dewasa) untuk mendidik orang-orang muda yang berperilaku malas. Terdapat kalimat semacam ini: kau kere tau bobo, uage singambung, maketi tulidang (kau seperti orang bisu, malas banyak, sulit diluruskan). Perbandingan dengan orang bisu ditekankan pada fungsi pendengaran yang merupakan dasar perilaku malas dan sukar diatur. Tetapi orang yang mateleng berperilaku sebaliknya, yaitu tidak bisu (mampu bicara atau bertanggungjawab) kemampuan itu mendorong menjadi berani, giat atau rajin, tetapi mudah diluruskan atau diarahkan.
Sebab pertama dari terbentuknya perilaku mateleng yaitu dimulai dari pendengaran, penglihatan, penciuman, penyentuhan dan perasaan yang diterima oleh seorang taumata secara mendalam. Inilah nilai (values) pertama yang paling mendasar dari Taumata Siau.  Nilai ini terus menerus dibangun dalam aktivitas sehari-hari, dari tahun ke tahun dan berabad-abad lamanya. Dibangun dari dalam keluarga orang-orang Siau sebagai sebuah kelaziman sehingga nampak dalam kehidupan setiap keluarga terdapat cara-cara bertindak “mateleng” yang telah menjadi kebiasaan (folkways).

Perilaku mateleng ditandai oleh sikap yang peka dengan kondisi lingkungan sekitar, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial yang selalu diseleksi secara ketat dengan rasionalitas yang terjangkau oleh fungsi pancaindera. Sikap individu yang senantiasa menerima dan menyeleksi tersebut, saling beradaptasi dan berkontribusi positif pada tataran keluarga dan masyarakat, kemudian mudah beradaptasi dalam pergaulan yang lebih luas. Karakter itulah yang membuat orang Siau mudah diterima oleh bangsa manapun di dunia. Bangsa yang dikenal pendengar, giat dan rajin. Bangsa yang sesungguhnya telah membentuk dirinya dengan fundasi yang sangat kuat dan bermartabat. Dengan demikian mateleng adalah suatu tindakan rasional, terstruktur dan dapat dipelajari.

Keluarga-keluarga yang berhasil membangun karakter mateleng dalam kehidupannya telah berhasil juga menciptakan sumberdaya manusia dengan kualitas perilaku yang cukup mapan pada usia dini, sejak anak-anak, remaja dan menjadi seorang pemuda yang cukup matang. Oleh sebab itu banyak pemuda-pemudi Siau yang merantau dan sukses membangun kehidupan pribadi mereka di perantauan. Kesuksesan itu sejalan dengan watak mateleng. Tetapi ada pula yang gagal mengelola watak kematelengannya dan terjebak pada stereotype pihak luar yang keliru memaknai kepatuhan di atas kesadaran rasional (mateleng) dengan kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran semu atau irasional (bukan mateleng). Delusi yang dibentuk dari lingkungan luar biasanya lingkungan dimana mereka mengabdikan diri (bekerja) tersebut adalah berupa anggapan bahwa orang Siau  dengan sifat rajin, penurut, jujur dan mudah diatur menunjukkan sifat dasar yang dimiliki oleh pekerja sehingga “panggilan kesayangan” selaku “ungke” sebagai laki-laki sejati dimaknai sebagai ungke dalam konteks bias pada status sosial selaku buruh (kelas proletar).

Dunia luar selalu menjadi ajang untuk menguji seberapa kuat derajat kepatuhan, kerajinan, kemandirian dan kepekaan sosial Taumata Siau. Bagi pemuda yang sukses bertahan dari tekanan dunia luar, maka ia akan hidup dan terus eksis sebagai pengubah lingkungannya. Tetapi bagi mereka yang belum sukses, disarankan untuk kembali ke kampung halamannya. Itulah sebabnya dimana-mana terdapat komunitas orang Siau yang kemudian melihat dan merasakan langsung kegetiran atas kegagalan saudaranya, maka selalu dinasehati untuk kembali ke kampung halaman untuk menyelenggarakan tradisi leluhurnya “mundeno kabalre”.
Tradisi “mundeno kabalre” ini adalah tradisi permandian yang dilakukan dengan menggunakan air sebagai simbol dari terserapnya nilai “mateleng” kedalam raga dan jiwa taumata Siau. Makna mateleng dalam penyelenggaraan upacara “mundeno kabalre” menandakan bahwa tingkat kepekaan sudah berada pada level tertinggi sehingga perlu dimateraikan atau dikukuhkan. Air dipercaya memiliki kekuatan magis yang dapat menyatukan alam roh dan alam nyata, dan air hanya dapat diserap oleh tanah. Pengukuhan yang transenden sifatnya itu dituntut harus dapat menimbulkan konsekuensi yang nyata atau terjangkau oleh pancaindera seperti misalnya tubuh menjadi kebal dari parang, bedil atau benda-benda tajam yang digunakan pihak lain dengan maksud menjahati pribadi orang Siau. Bilamana seorang pemuda telah dimandikan menurut tradisi ini, dia akan diuji, lengan akan dipotong dengan parang yang sangat tajam, punggung akan ditebas dengan kapak yang sangat tajam, kemudian dijatuhkan pada lereng-lereng berbatu terjal. Jika melalui ketiga tahapan pengujian ini seseorang tidak mendapatkan luka, maka berarti dia lulus ujian kabalre dan diperbolehkan untuk merantau (lagi).

Barangkali itulah salah satu alasan, mengapa orang Siau lebih suka bekerja sebagai pelaut atau mengelola laut daripada bekerja di darat. Tetapi darat menjadi tumpuan bagi kehidupan dasar. Darat (tanah) adalah tempat berpijak sekaligus kunci awal dan akhir dari kehidupan. Semoga mereka (orang laut perantau) tidak sedang menghindar menyentuh atau disentuh tanah. Tanah bagi beberapa orang laut (perantau) menjadi sesuatu yang dihindari dalam petualangan selama masa hidupnya, tetapi menjadi teman abadi di akhir hidupnya. Mateleng diibaratkan seperti orang yang mampu berdiri sendiri pada landasan hidup dengan kedua kakinya sambil memegang sejumlah kewajiban berat di tangannya yaitu kewajiban memanusiakan manusia. Manusia mateleng adalah manusia otonom pada level 1 tingkat kemanusiaan Taumata Siau.

Matelang
Matelang dalam bahasa Taumata Siau berarti telah mencapai tingkat keseimbangan tertentu sebagai manusia Siau yang memiliki kemampuan mengharmonisasikan keragamanan yang rumit, menyelaraskan yang bengkok dengan yang lurus, memadu-seimbangkan manfaat dari nilai-nilai positif dan nilai-nilai negatif. Sikap Taumata Siau selalu rasional. Rasionalitas itu terbentuk sejak proses pembentukan kepribadian mateleng. Makna matelang tidak bergantung pada umur seseorang. Bisa saja seseorang tidak pernah disebut matelang sampai akhir hayatnya di usia yang dewasa dalam standar nominal. Makna matelang berkaitan erat dengan makna mateleng. Mateleng merupakan pribadi dengan banyak pengetahuan dan pengalamannya harus menjalani ujian pada tahapan berikutnya, yaitu ujian untuk keseimbangan.

Budaya laut yang demikian kuat terbangun dalam kehidupan bermasyarakat semakin membuat struktur sosial terdeferensiasikan pada dua ranah, yaitu ranah orang darat (tanah) dan ranah orang laut (air). Muncul kemudian corak inklusif pada penggunaan bahasa yaitu adanya bahasa laut yang disebut sasahara dan bahasa darat yang disebut sasalili. Orang darat yang orientasinya ke tanah mengembangkan sasalili, sedangkan orang laut yang orientasinya ke air menggunakan sasahara dalam mengembangkan karakteristik dirinya.
Pada tataran tertentu banyak hal yang dibahasakan dengan berbeda makna. Bagi orang darat (orang kebanyakan) makna perahu adalah media yang digunakan untuk melaut. Tetapi bagi orang laut perahu adalah “rumah” mereka. Oleh sebab itu, kata perahu disebut oleh orang darat dengan sangat entengnya sebagai sakaeng (sasalili), sedangkan orang laut tidak menyebut, melainkan mengungkapkannya dengan makna yang sangat mendalam (menyentuh) sebagai malring batangeng u watangeng (sasahara) yang berarti ”ini rumahku di lautan”.
Kita akan menemukan demikian banyak kata, pepatah, syair dan karya sastra yang dilahirkan dalam dua corak identitas orang Siau dalam struktur masyarakatnya itu. Beberapa diantaranya sebagai berikut:
  1. Untuk menunjukkan objek yang bukan manusia seperti: nama-nama ikan, antara lain: belau (sasahara), kemboleng (sasalili) artinya ikan hiu; tolre peti (sasahara), pani (sasalili) artinya ikan tuna; tendalung (sasalili), boto pusige (sasahara) artinya ikan layar; mansohokang (sasahara), senempa (sasalili) artinya cumi-cumi.
  2. Untuk menunjukkan objek orang (manusia) seperti: laming (sasahara); ungke (sasalili) artinya laki-laki; sangiang (sasahara); uto (sasalili) artinya perempuan.
  3. Untuk menunjukkan aktivitas, antara lain: pato-pato (sasahara), leto-leto (sasalili) artinya terapung; medaraung (sasahara), mesenggo (sasalili) artinya berlayar; mamuna (sasahara), mapule (sasalili) artinya pulang; mengeto (sasahara), medepuhang (sasalili) artinya memasak; nietoe (sasahara), nikaalra(sasalili) artinya hasil ikan yang didapat.
Laut (air) dan tanah menjadi simbol yang sangat sakral dalam kehidupan manusia Siau. Laut sebagai simbol kehidupan dan kekuatan, sedangkan tanah adalah simbol kelahiran dan kematian. Api merupakan simbol pengetahuan sedangkan angin adalah simbol kehendak. Gunung adalah simbol perlindungan dan keteguhan sedangkan logam adalah simbol kemuliaan. Demikianlah orang Siau memaknai fenomena dan benda-benda alam dalam irama kehidupan mereka.

Tanah yang pada umumnya berwarna cokelat atau abu-abu, secara verbal dimaknai sebagai keadaan bolra yang berarti kotor atau kusut. Orang Siau yang orientasi hidupnya ke laut membentuk dirinya sebagai orang yang berperilaku bersih, menghindari tanah sebagai simbol “kekotoran”. Semakin kelaut, semakin bersih, dan lawannya adalah semakin ke darat atau semakin ke gunung, maka semakin kotor. Niscaya, pergaulan hidup orang laut dengan orang darat menjadi renggang, solidaritas sosial melemah dan akhirnya bangunan perilaku Mateleng yang sudah dipatrikan sejak masa kecil menjadi goyah. Semakin luas pergaulan orang laut (perantau), semakin banyak mereka menyentuh, menerima, menampung budaya-budaya asing dan beradaptasi dengan budaya asing itu sehingga sedikit banyak terpengaruh dengan nilai-nilai baru atau minimal melahirkan corak yang lebih terkini. Perantau dengan tingkat mateleng yang lemah akan menghasilkan perilaku yang jauh menyimpang dari nilai kematelengan dan tidak mungkin dapat menjadi pribadi yang matelang.

Ketika mereka kembali ke darat (kampung halaman) dan berasimilasi dengan lingkungan asalnya, maka akan segera nampak perbedaan yang menyolok, bahwa orang yang baru kembali memiliki tingkat kemajuan budaya yang lebih baik daripada yang tinggal di kampungnya. Para pelaut biasanya akan membawa banyak perubahan dari aspek penampilan atau cara berpakaian. Misalnya menggunakan setelan celana blue jeans dan arloji rolex dianggap sebagai suatu kemajuan yang diraih melalui serangkaian prestasi sekaligus prestise orang laut sedangkan pakaian dari setelan kofo dan gelang dari kamasilrang (akar bahar) dianggap sebagai bolra atau kotor atau udik. Sebaliknya orang darat atau orang yang mendiami kampung halamannya atau mereka yang tidak memilih berlayar beranggapan bahwa para pelaut telah terkontaminasi dengan nilai-nilai budaya asing dan dianggap sebagai “becek” atau lota yaitu tanah yang basah akibat kena air yang jauh lebih kotor dari tanah (kotor) itu sendiri.

Tradisi belayar (melaut) terbentuk sebagai komponen baru dalam struktur sosial masyarakat sekaligus menjadi media baru untuk pijakan kehidupan dari sebagian taumata Siau. Sebagian lainnya masih eksis melanjutkan kehidupannya pada pijakan lama yaitu mengelola tanah. Orang yang berhasil membentuk karakter mateleng menjadi matelang adalah seorang yang mampu menyeimbangkan atau mendamaikan seteru paham berbeda itu. Meskipun dirinya adalah bagian dari salah satu paham, tetapi cara berpikirnya dan cara bertindaknya dapat diterima oleh kedua belah pihak secara seimbang. Pada tingkat ini, struktur masyarakat mengajarkan kepada setiap individu bahwa damai adalah tujuan dari hidup bersama.

Jika mateleng diibaratkan seperti orang yang mampu berdiri sendiri pada landasan hidup dengan kedua kakinya sambil memegang sejumlah kewajiban berat di tangannya yaitu kewajiban memanusiakan manusia dalam kepekaan, maka matelang ibarat orang yang telah berdiri dengan sebelah kakinya tetapi terus memegang sejumlah kewajiban di tangannya yaitu kewajiban memanusiakan manusia dalam keseimbangan. Manusia matelang adalah manusia otonom pada level 2 tingkat kemanusiaan Taumata Siau. Reward bagi pejuang di kancah matelang adalah perak.

Mateling

Kepribadian taumata (manusia) setelah melewati bentuk watak mateleng dan watak matelang pada akhirnya mencapai bentuk yang sempurna yaitu watak mateling. Sifat diam (mengendalikan lidah), rajin bekerja dan setia mendengar merupakan komponen-komponen perilaku yang membentuk kepekaan pada watak mateleng, entah itu kepekaan pribadi maupun kepekaan lingkungan (alam dan sosial). Dengan demikian taumata disebut memiliki watak mateleng apabila di dalam dirinya terdapat sifat diam, rajin dan setia. Sedangkan corak watak matelang dimulai dari sifat setia yang telah mengakar pada watak mateleng, kemudian diasah melalui ujian (seleksi) alami di ajang yang lebih luas (laut-perantau) sebagai ruang terbuka untuk menguji kadar kedewasaan taumata. Mereka yang lulus ujian adalah mereka yang mendapatkan keseimbangan dari pelbagai fenomena paradoks yang mempengaruhi perilaku.

Definisi keseimbangan pada tingkat matelang adalah momentum fenomena paradoks (positif dan negatif, putih dan hitam, siang dan malam, kronis dan akut saling) bertautan pada besaran muatan yang sama untuk kurun waktu tertentu dan berlangsung pada ruang tertentu. Mateleng merupakan integrasi dari sifat diam, rajin dan patuh. Dengan kata lain: sifat patuh adalah hasil penjumlahan dari sifat diam dan rajin (tekun) yang dapat diformulasikan sebagai berikut: Setia = Tekun + Diam. Jadi, pada tingkat pertama, kunci dari kesetiaan adalah diam dalam ketekunan. Pada tingkat kedua, matelang merupakan integrasi dari sifat setia, kuat (matang) dan seimbang (stabil), sehingga formulasinya adalah: Stabil = Kuat + Rajin (makna kerja) atau Matang + Tekun (makna sifat). Taumata dalam tindakan akan nampak dari kualitas fisik yakni perpaduan antara kekuatan dan kerajinan, sedangkan taumata dalam psikhis akan nampak dari kombinasi kematangan dan ketekunan. Bagi taumata Sangihe (Siau pada khususnya), karakteristik dasar taumata menjadi kuat apabila landasannya dibentuk dari watak mateleng dan matelang.

Bagaimanapun kuatnya, keseimbangan pada tingkat matelang belumlah paripurna. Taumata matelang meyakini bahwa kesempurnaan itu ada, berada pada ketiadaan. Jalan masuk kesana adalah kesenyapan. Tingkat kemanusiaan taumata akan naik lagi pada tataran berikutnya yang disebut sebagai mateling. Itulah sebabnya ada tradisi mengamalre (bertapa) dalam kehidupan taumata tradisional, yang umumnya dilakukan di dalam liang-liang yang sulit dijangkau oleh orang awam. Dengan bertapa taumata lebih memperkokoh stabilitas antara mateleng dan mateling dalam dirinya. Dengan bertapa taumata memperoleh pencerahan. Taumata mateling pada akhirnya sanggup menata kualitas kematelingannya berdasarkan pada kualitas kematelengan dan kualitas kematelangannya.

Mateling merupakan kata kerja pasif sekaligus kata sifat yang mengandung tiga komposisi makna integral, yaitu: seimbang, berhikmat dan diam (pasif). Dalam kondisi mateling ini, kerja sebagai aspek fisikal (aktif) dalam pengertian harafiah melemah seiring usia taumata (waktu), tetapi watak mateleng dan matelang makin menguat. Penguatan terjadi pada saat taumata dalam kondisi keseimbangan (matelang) melakukan kerja pasif. Kerja pasif itu adalah diam. Mateling dengan demikian berada di posisi puncak yang terhubung ke mateleng dan matelang. Mateling adalah pengendali mateleng dan matelang.

Pada konstruksi bangunan sosial yang lebih kompleks atau yang sederhananya disebut sebagai masyarakat, maka mateling adalah sasasa; yakni sebuah regulasi yang mengatur tentang cara-cara sasalili (mateleng) dan sasahara (matelang) agar senantiasa berada dalam keadaan malunsemahe. Taumata Mateling adalah taumata yang dibentuk karakternya dari kemanunggalan mateleng dan matelang. Taumata mateling sangat mahir berperan di tiga ranah ilmu pengetahuan yang mencakup epistemilogi, ontologi dan praksis. Kepadanyalah semua orang berpaut, baik mereka yang mateleng maupun mereka yang matelang.

Dengan pemahaman kental tentang makna mateling seperti yang saya uraikan ini, barangkali itulah yang menyebabkan orang Siau (Sangihe) sangat menghormati leluhur mereka. Orang tua sampai akhir hayatnya tidak akan pernah dipantijompokan, melainkan diurus sedemikian rupa oleh generasi-generasinya hingga ajal menjemputnya, bahkan kubur leluhurnya enggan jauh dari rumah dimana mereka tinggali.

Jika anda berkunjung ke Siau, hampir di setiap sudut atau di samping rumah mereka anda akan menemukan kuburan. Maaf, itu kubur (mateling) bukan kerkoft (budaya asing).  Anda dituntut hormat bukan takut.

Sumber: http://www.kompasiana.com/posts/type/opinion/

LIRIH KE HILIR BATHIN

karena amarah yg kau lukis pada 
dinding ingatku menjadi bulan atas riak
jadi bintang keruhnya
menjadi segala yang tak terengkuh

kemarilah sejenak biar kau rasa
dalam senyap menggurita
menjarah jarak tak berarak
Aku rasa 
pedih menyembelih bertubi
hitung helai senyap yang tertiris
lirih mengulir bergulir 
ke hilir batinku...

(puisi RKM) 

Minggu, 16 September 2012

DIRGANTARA DAN YUNITA

Dirga adalah sosok yang praktis, realistis, dan biasa saja, di dalam dirinya ada dorongan alamiah untuk berbisnis atau menjadi mekanik. Meskipun ia tidak tertarik pada mata pelajaran yang menurut dirinya tidak berguna atau diperlukan. Dirga ingin mengatur dan menjalankan semua rencana dalam sebuah kegiatan. Pria lugas itu adalah administrator yang baik.  Tetapi dia adalah orang yang menyenangkan dan tidak ragu untuk berkomunikasi mengutarakan pendapat dan harapan kepada orang lain.

Hidupnya dalam dunia fakta dan kebutuhan. Dia hidup di masa sekarang, dengan mata yang terus-menerus memindai lingkungan pribadinya untuk memastikan bahwa semuanya berjalan lancar dan sistematis. Dia menghormati tradisi dan hukum, dan memiliki standar dan keyakinan. Dirga mengharapkan hal yang sama pada orang lain, dan tidak memiliki kesabaran pada orang yang tidak menghargai sistem ini. Orang macam Dirga menghargai kompetensi dan efisiensi, dan ingin melihat hasil yang cepat untuk usaha mereka. 

Dia memiliki sebuah visi yang jelas. Percaya diri dan agresif. Dia sangat berbakat menyusun sistem dan rencana, dan bisa melihat apa langkah-langkah yang perlu diambil untuk menyelesaikan tugas tertentu. Kadang-kadang ia bisa sangat menuntut dan kritis, karena memiliki keyakinan yang dipegang teguh, dan cenderung untuk mengekspresikan diri. Dirinya sangat lurus ke depan dan jujur. 


Dirga adalah sosok Guardian yang biasanya merupakan contoh dan pilar masyarakat. Dia mengambil komitmen dengan serius, dan mengikuti standar mereka sebagai “warga negara yang baik”. Dia menikmati saat berinteraksi dengan orang, dan suka bersenang-senang. Dirinya bisa sangat riuh dan menyenangkan di acara-acara sosial, terutama kegiatan yang difokuskan pada keluarga, masyarakat, atau pekerjaan. 

Para quardian semacam Dirga perlu diperhatikan kecenderungan untuk menjadi terlalu kaku, dan menjadi terlalu berorientasi pada detail. Karena mereka menempatkan banyak berat badan dalam kepercayaan mereka sendiri, penting bahwa orang seperti Dirga ingat untuk menghargai masukan orang lain dan pendapat. Jika mereka mengabaikan sisi “merasa” mereka, mereka mungkin memiliki masalah dengan memenuhi kebutuhan lain untuk keintiman, dan tanpa sadar bisa melukai perasaan orang dengan menerapkan logika dan alasan untuk situasi yang menuntut sensitivitas lebih emosional.  

Dirga serba praktis, realistis, berpegang teguh pada komitmen. Tegas, cepat bergerak untuk melaksanakan keputusan. Pandai mengatur proyek dan berusaha mendapatkan sesuatu, fokus untuk mendapatkan hasil dengan cara yang paling efisien. Menyukai rincian dan rutinitas. Memiliki standar logis, sistematis dan ingin orang lain juga mengikutinya. Kuat dalam melaksanakan rencananya. 
 
Kuncinya Dirga adalah seseorang dengan karakter suka mengatur orang, analitis, pemecahan masalah di tingkat fungsional, mengembangkan dan menjalankan proses dan prosedur. Bakatnya bekerja untuk mengurus manajemen dan administrasi, penegakan hukum, manajer bisnis, teknisi, produksi.  

Dirga bertemu dengan kekasihnya pada tahun 2010 yang lalu di sebuah kedai dan sangat mencintai kekasihnya. Kekasihnya adalah Yuni. Yuni  adalah orang yang damai dan santai, prinsipnya “hiduplah dan biarkan hidup”. Ia menikmati mengambil hal-hal sesuai dengan kemampuannya dan cenderung untuk hidup di saat ini. Meskipun tenang, ia menyenangkan, perhatian, peduli, dan dikhususkan untuk orang-orang dalam hidupnya. Meskipun tidak cenderung untuk berdebat, Yuni bisa mengungkapkan pandangannya, terutama nilai yang penting bagi dirinya.  

Pandangan dirinya didasarkan paham saat ini, disini dan sekarang. Yuni sangat sensitif terhadap lingkungannya, selaras dengan persepsi pancaindranya. Dia sangat sensitif untuk menyeimbangkan dan memahami dengan baik apa yang dilakukan atau tidak sesuai, baik dalam sebuah karya seni atau aspek lain dari kehidupannya. Yuni cenderung emosional, berpengetahuan luas dan empati terhadap orang lain.  

Orang semacam Yuni ini hidup di dunia perasaan. Dia tajam selaras dengan cara melihat, merasa, bersuara, perasa. Memiliki apresiasi estetika yang kuat untuk seni, dan cenderung menjadi seniman dalam beberapa bentuk, karena mereka luar biasa berbakat untuk menciptakan dan menyusun hal-hal yang akan sangat mempengaruhi indera. Dirinya memiliki satu set nilai-nilai yang kuat, yang berusaha untuk hidup konsisten dan memenuhi kebutuhan dalam hidupnya. Dia perlu merasa seolah-olah sedang menjalani kehidupannya sesuai dengan apa yang dirasakan benar, dan akan memberontak melawan apa pun yang bertentangan dengan tujuannya. Dia cenderung memilih pekerjaan dan karir yang memungkinkan dirinya melakukan kebebasan menuju terwujudnya nilai berorientasi tujuan pribadinya.  

Yuni cenderung tenang dan pendiam, dan sulit untuk mengenal dengan baik. Mereka memegang kembali ide-ide dan pendapatnya kecuali pada orang yang dekat dengan dirinya. Dia cenderung untuk bersikap baik, lembut dan sensitif dalam berhubungan dengan orang lain. Dirinya tertarik untuk berkontribusi dalam perasaan masyarakat tentang baik makhluk dan kebahagiaan, dan akan menempatkan banyak usaha dan energi untuk tugas-tugas yang mereka yakini. 
 
Ringkasnya Yuni adalah sosok yang tenang, ramah, sensitif dan baik. Lebih suka menikmati saat ini dan apa yang terjadi di sekitar mereka. Ingin memiliki ruangnya sendiri dan bekerja dalam kerangka waktunya sendiri. Loyal dan berkomitmen terhadap nilai-nilai dan untuk orang-orang yang penting bagi mereka. Tidak suka perbedaan pendapat dan konflik, tidak memaksakan pendapat atau nilai-nilai pada orang lain. Kuncinya sosok Yuni adalah sosok pembujuk yang lembut dan sensitif. Bakatnya berkarier sebagai relawan, wirausaha, kerajinan dan seniman.

Sayangnya, kedua sosok ini bertentangan, dan menurut Anda bagaimana mempersatukan kedua insane yang berbeda tetapi saling mencintai ini? Berhasilkah mereka jika kelak membangun bahtera rumah tangga?
  


Selasa, 11 September 2012

HUJAN DI HATIKU


Hujan kata-kata yang engkau jatuhkan dahulu telah meretakkan atap perasaanku dan sayatan lidahmu membuat cacat hatiku. Kini sebelum engkau binasa dibakar waktu dan dirobek-robek angin aku mohon jangan mengusik tenangnya danau kehidupanku dan mereka karena aku bukan boneka yang dapat engkau kendalikan dengan tangan-tangan perasaanmu...:,(

Aku ingin berjalan di derasnya hujan
Agar tiada yang tahu kalau
aku menangis.