Mateleng
Mateleng adalah bahasa
etnis Sangihe subetnis Siau, yaitu kata kerja yang dirangkai dari dua suku kata
yakni “ma” yang berarti mengerjakan sesuatu dan “teleng” yang
berarti dengar. Dengan demikian mateleng dapat diartikan langsung
kedalam bahasa Indonesia modern sebagai “pendengar”. Dalam bahasa Manado
kontemporer, terdapat kata kerja “pangbadengar” yang artinya orang yang
suka mendengar atau orang yang patuh. Jika pengetian mateleng dipadankan dengan
pengertian “pangbadengar” maka akan menghasilkan pengertian yang terlampau
sempit maknanya.
Orang
Siau memaknai mateleng bukan sekedar tindakan pasif memasang kuping. Melainkan
diperluas maknanya sampai pada tindakan untuk memastikan bahwa apa yang sudah
didengarnya harus dapat dibuktikan secara empirik. Dengan demikian urusan
mateleng bukan hanya urusan telinga, tetapi juga merupakan urusan seluruh panca
indera manusia. Apa yang didengarnya harus dapat dilihat, dicium, diraba dan
dirasakan. Bagi orang Siau, semakin banyak mendengar, maka semakin banyak yang
dikerjakan. Sebaliknya, orang yang kurang mendengar adalah orang yang kurang
aktivitasnya alias orang malas. Etos kerja orang Siau itu pertama-tama
terbentuk dari pendengarannya.
Dalam
kehidupan sehari-hari, orang yang terganggu pendengarannya karena cacat lahir,
seperti orang bisu misalnya, sering menjadi subjek pembanding bagi orang tua
(dewasa) untuk mendidik orang-orang muda yang berperilaku malas. Terdapat
kalimat semacam ini: kau kere tau bobo, uage singambung, maketi tulidang (kau
seperti orang bisu, malas banyak, sulit diluruskan). Perbandingan dengan orang
bisu ditekankan pada fungsi pendengaran yang merupakan dasar perilaku malas dan
sukar diatur. Tetapi orang yang mateleng berperilaku sebaliknya, yaitu
tidak bisu (mampu bicara atau bertanggungjawab) kemampuan itu mendorong menjadi
berani, giat atau rajin, tetapi mudah diluruskan atau diarahkan.
Sebab
pertama dari terbentuknya perilaku mateleng yaitu dimulai dari pendengaran,
penglihatan, penciuman, penyentuhan dan perasaan yang diterima oleh seorang
taumata secara mendalam. Inilah nilai (values) pertama yang paling
mendasar dari Taumata Siau. Nilai ini terus menerus dibangun dalam
aktivitas sehari-hari, dari tahun ke tahun dan berabad-abad lamanya. Dibangun
dari dalam keluarga orang-orang Siau sebagai sebuah kelaziman sehingga nampak
dalam kehidupan setiap keluarga terdapat cara-cara bertindak “mateleng” yang
telah menjadi kebiasaan (folkways).
Perilaku
mateleng ditandai oleh sikap yang peka dengan kondisi lingkungan sekitar, baik
lingkungan alam maupun lingkungan sosial yang selalu diseleksi secara ketat dengan
rasionalitas yang terjangkau oleh fungsi pancaindera. Sikap individu yang
senantiasa menerima dan menyeleksi tersebut, saling beradaptasi dan
berkontribusi positif pada tataran keluarga dan masyarakat, kemudian mudah
beradaptasi dalam pergaulan yang lebih luas. Karakter itulah yang membuat orang
Siau mudah diterima oleh bangsa manapun di dunia. Bangsa yang dikenal
pendengar, giat dan rajin. Bangsa yang sesungguhnya telah membentuk dirinya
dengan fundasi yang sangat kuat dan bermartabat. Dengan demikian mateleng
adalah suatu tindakan rasional, terstruktur dan dapat dipelajari.
Keluarga-keluarga
yang berhasil membangun karakter mateleng dalam kehidupannya telah berhasil
juga menciptakan sumberdaya manusia dengan kualitas perilaku yang cukup mapan
pada usia dini, sejak anak-anak, remaja dan menjadi seorang pemuda yang cukup
matang. Oleh sebab itu banyak pemuda-pemudi Siau yang merantau dan sukses
membangun kehidupan pribadi mereka di perantauan. Kesuksesan itu sejalan dengan
watak mateleng. Tetapi ada pula yang gagal mengelola watak kematelengannya
dan terjebak pada stereotype pihak luar yang keliru memaknai kepatuhan
di atas kesadaran rasional (mateleng) dengan kepatuhan yang didasarkan
pada kesadaran semu atau irasional (bukan mateleng). Delusi yang dibentuk
dari lingkungan luar biasanya lingkungan dimana mereka mengabdikan diri
(bekerja) tersebut adalah berupa anggapan bahwa orang Siau dengan sifat
rajin, penurut, jujur dan mudah diatur menunjukkan sifat dasar yang dimiliki
oleh pekerja sehingga “panggilan kesayangan” selaku “ungke” sebagai laki-laki
sejati dimaknai sebagai ungke dalam konteks bias pada status sosial selaku
buruh (kelas proletar).
Dunia
luar selalu menjadi ajang untuk menguji seberapa kuat derajat kepatuhan,
kerajinan, kemandirian dan kepekaan sosial Taumata Siau. Bagi pemuda yang
sukses bertahan dari tekanan dunia luar, maka ia akan hidup dan terus eksis
sebagai pengubah lingkungannya. Tetapi bagi mereka yang belum sukses,
disarankan untuk kembali ke kampung halamannya. Itulah sebabnya dimana-mana
terdapat komunitas orang Siau yang kemudian melihat dan merasakan langsung
kegetiran atas kegagalan saudaranya, maka selalu dinasehati untuk kembali ke
kampung halaman untuk menyelenggarakan tradisi leluhurnya “mundeno kabalre”.
Tradisi
“mundeno kabalre” ini adalah tradisi permandian yang dilakukan dengan
menggunakan air sebagai simbol dari terserapnya nilai “mateleng” kedalam raga
dan jiwa taumata Siau. Makna mateleng dalam penyelenggaraan upacara “mundeno
kabalre” menandakan bahwa tingkat kepekaan sudah berada pada level
tertinggi sehingga perlu dimateraikan atau dikukuhkan. Air dipercaya memiliki
kekuatan magis yang dapat menyatukan alam roh dan alam nyata, dan air hanya
dapat diserap oleh tanah. Pengukuhan yang transenden sifatnya itu dituntut
harus dapat menimbulkan konsekuensi yang nyata atau terjangkau oleh pancaindera
seperti misalnya tubuh menjadi kebal dari parang, bedil atau benda-benda tajam
yang digunakan pihak lain dengan maksud menjahati pribadi orang Siau. Bilamana
seorang pemuda telah dimandikan menurut tradisi ini, dia akan diuji, lengan
akan dipotong dengan parang yang sangat tajam, punggung akan ditebas dengan
kapak yang sangat tajam, kemudian dijatuhkan pada lereng-lereng berbatu terjal.
Jika melalui ketiga tahapan pengujian ini seseorang tidak mendapatkan luka,
maka berarti dia lulus ujian kabalre dan diperbolehkan untuk merantau
(lagi).
Barangkali
itulah salah satu alasan, mengapa orang Siau lebih suka bekerja sebagai pelaut
atau mengelola laut daripada bekerja di darat. Tetapi darat menjadi tumpuan
bagi kehidupan dasar. Darat (tanah) adalah tempat berpijak sekaligus kunci awal
dan akhir dari kehidupan. Semoga mereka (orang laut perantau) tidak sedang
menghindar menyentuh atau disentuh tanah. Tanah bagi beberapa orang laut (perantau)
menjadi sesuatu yang dihindari dalam petualangan selama masa hidupnya, tetapi
menjadi teman abadi di akhir hidupnya. Mateleng diibaratkan seperti orang yang
mampu berdiri sendiri pada landasan hidup dengan kedua kakinya sambil memegang
sejumlah kewajiban berat di tangannya yaitu kewajiban memanusiakan manusia.
Manusia mateleng adalah manusia otonom pada level 1 tingkat kemanusiaan Taumata
Siau.
Matelang
Matelang
dalam bahasa Taumata Siau berarti telah mencapai tingkat keseimbangan tertentu
sebagai manusia Siau yang memiliki kemampuan mengharmonisasikan keragamanan
yang rumit, menyelaraskan yang bengkok dengan yang lurus, memadu-seimbangkan
manfaat dari nilai-nilai positif dan nilai-nilai negatif. Sikap Taumata Siau selalu
rasional. Rasionalitas itu terbentuk sejak proses pembentukan kepribadian
mateleng. Makna matelang tidak bergantung pada umur seseorang. Bisa saja
seseorang tidak pernah disebut matelang sampai akhir hayatnya di usia
yang dewasa dalam standar nominal. Makna matelang berkaitan erat dengan makna
mateleng. Mateleng merupakan pribadi dengan banyak pengetahuan dan
pengalamannya harus menjalani ujian pada tahapan berikutnya, yaitu ujian untuk
keseimbangan.
Budaya
laut yang demikian kuat terbangun dalam kehidupan bermasyarakat semakin membuat
struktur sosial terdeferensiasikan pada dua ranah, yaitu ranah orang darat
(tanah) dan ranah orang laut (air). Muncul kemudian corak inklusif pada
penggunaan bahasa yaitu adanya bahasa laut yang disebut sasahara dan
bahasa darat yang disebut sasalili. Orang darat yang orientasinya ke
tanah mengembangkan sasalili, sedangkan orang laut yang orientasinya ke air
menggunakan sasahara dalam mengembangkan karakteristik dirinya.
Pada
tataran tertentu banyak hal yang dibahasakan dengan berbeda makna. Bagi orang
darat (orang kebanyakan) makna perahu adalah media yang digunakan untuk melaut.
Tetapi bagi orang laut perahu adalah “rumah” mereka. Oleh sebab itu, kata
perahu disebut oleh orang darat dengan sangat entengnya sebagai sakaeng (sasalili),
sedangkan orang laut tidak menyebut, melainkan mengungkapkannya dengan makna
yang sangat mendalam (menyentuh) sebagai malring batangeng u watangeng
(sasahara) yang berarti ”ini rumahku di lautan”.
Kita
akan menemukan demikian banyak kata, pepatah, syair dan karya sastra yang
dilahirkan dalam dua corak identitas orang Siau dalam struktur masyarakatnya
itu. Beberapa diantaranya sebagai berikut:
- Untuk menunjukkan objek yang bukan manusia seperti: nama-nama ikan, antara lain: belau (sasahara), kemboleng (sasalili) artinya ikan hiu; tolre peti (sasahara), pani (sasalili) artinya ikan tuna; tendalung (sasalili), boto pusige (sasahara) artinya ikan layar; mansohokang (sasahara), senempa (sasalili) artinya cumi-cumi.
- Untuk menunjukkan objek orang (manusia) seperti: laming (sasahara); ungke (sasalili) artinya laki-laki; sangiang (sasahara); uto (sasalili) artinya perempuan.
- Untuk menunjukkan aktivitas, antara lain: pato-pato (sasahara), leto-leto (sasalili) artinya terapung; medaraung (sasahara), mesenggo (sasalili) artinya berlayar; mamuna (sasahara), mapule (sasalili) artinya pulang; mengeto (sasahara), medepuhang (sasalili) artinya memasak; nietoe (sasahara), nikaalra(sasalili) artinya hasil ikan yang didapat.
Laut
(air) dan tanah menjadi simbol yang sangat sakral dalam kehidupan manusia Siau.
Laut sebagai simbol kehidupan dan kekuatan, sedangkan tanah adalah simbol
kelahiran dan kematian. Api merupakan simbol pengetahuan sedangkan angin adalah
simbol kehendak. Gunung adalah simbol perlindungan dan keteguhan sedangkan
logam adalah simbol kemuliaan. Demikianlah orang Siau memaknai fenomena dan
benda-benda alam dalam irama kehidupan mereka.
Tanah
yang pada umumnya berwarna cokelat atau abu-abu, secara verbal dimaknai sebagai
keadaan bolra yang berarti kotor atau kusut. Orang Siau yang orientasi
hidupnya ke laut membentuk dirinya sebagai orang yang berperilaku bersih,
menghindari tanah sebagai simbol “kekotoran”. Semakin kelaut, semakin bersih,
dan lawannya adalah semakin ke darat atau semakin ke gunung, maka semakin
kotor. Niscaya, pergaulan hidup orang laut dengan orang darat menjadi renggang,
solidaritas sosial melemah dan akhirnya bangunan perilaku Mateleng yang
sudah dipatrikan sejak masa kecil menjadi goyah. Semakin luas pergaulan orang
laut (perantau), semakin banyak mereka menyentuh, menerima, menampung
budaya-budaya asing dan beradaptasi dengan budaya asing itu sehingga sedikit
banyak terpengaruh dengan nilai-nilai baru atau minimal melahirkan corak yang
lebih terkini. Perantau dengan tingkat mateleng yang lemah akan menghasilkan
perilaku yang jauh menyimpang dari nilai kematelengan dan tidak mungkin
dapat menjadi pribadi yang matelang.
Ketika
mereka kembali ke darat (kampung halaman) dan berasimilasi dengan lingkungan
asalnya, maka akan segera nampak perbedaan yang menyolok, bahwa orang yang baru
kembali memiliki tingkat kemajuan budaya yang lebih baik daripada yang tinggal
di kampungnya. Para pelaut biasanya akan membawa banyak perubahan dari aspek
penampilan atau cara berpakaian. Misalnya menggunakan setelan celana blue
jeans dan arloji rolex dianggap sebagai suatu kemajuan yang diraih
melalui serangkaian prestasi sekaligus prestise orang laut sedangkan pakaian
dari setelan kofo dan gelang dari kamasilrang (akar bahar)
dianggap sebagai bolra atau kotor atau udik. Sebaliknya orang darat atau
orang yang mendiami kampung halamannya atau mereka yang tidak memilih berlayar
beranggapan bahwa para pelaut telah terkontaminasi dengan nilai-nilai budaya
asing dan dianggap sebagai “becek” atau lota yaitu tanah yang basah
akibat kena air yang jauh lebih kotor dari tanah (kotor) itu sendiri.
Tradisi
belayar (melaut) terbentuk sebagai komponen baru dalam struktur sosial
masyarakat sekaligus menjadi media baru untuk pijakan kehidupan dari sebagian
taumata Siau. Sebagian lainnya masih eksis melanjutkan kehidupannya pada
pijakan lama yaitu mengelola tanah. Orang yang berhasil membentuk karakter
mateleng menjadi matelang adalah seorang yang mampu menyeimbangkan atau
mendamaikan seteru paham berbeda itu. Meskipun dirinya adalah bagian dari salah
satu paham, tetapi cara berpikirnya dan cara bertindaknya dapat diterima oleh
kedua belah pihak secara seimbang. Pada tingkat ini, struktur masyarakat
mengajarkan kepada setiap individu bahwa damai adalah tujuan dari hidup bersama.
Jika
mateleng diibaratkan seperti orang yang mampu berdiri sendiri pada landasan
hidup dengan kedua kakinya sambil memegang sejumlah kewajiban berat di
tangannya yaitu kewajiban memanusiakan manusia dalam kepekaan, maka matelang
ibarat orang yang telah berdiri dengan sebelah kakinya tetapi terus memegang
sejumlah kewajiban di tangannya yaitu kewajiban memanusiakan manusia dalam
keseimbangan. Manusia matelang adalah manusia otonom pada level 2 tingkat
kemanusiaan Taumata Siau. Reward bagi pejuang di kancah matelang adalah perak.
Mateling
Kepribadian
taumata (manusia) setelah melewati bentuk watak mateleng dan watak matelang
pada akhirnya mencapai bentuk yang sempurna yaitu watak mateling. Sifat diam
(mengendalikan lidah), rajin bekerja dan setia mendengar merupakan
komponen-komponen perilaku yang membentuk kepekaan pada watak mateleng, entah
itu kepekaan pribadi maupun kepekaan lingkungan (alam dan sosial). Dengan
demikian taumata disebut memiliki watak mateleng apabila di dalam dirinya
terdapat sifat diam, rajin dan setia. Sedangkan corak watak matelang dimulai
dari sifat setia yang telah mengakar pada watak mateleng, kemudian diasah
melalui ujian (seleksi) alami di ajang yang lebih luas (laut-perantau) sebagai
ruang terbuka untuk menguji kadar kedewasaan taumata. Mereka yang lulus ujian
adalah mereka yang mendapatkan keseimbangan dari pelbagai fenomena paradoks yang
mempengaruhi perilaku.
Definisi
keseimbangan pada tingkat matelang adalah momentum fenomena paradoks (positif
dan negatif, putih dan hitam, siang dan malam, kronis dan akut saling)
bertautan pada besaran muatan yang sama untuk kurun waktu tertentu dan berlangsung
pada ruang tertentu. Mateleng merupakan integrasi dari sifat diam, rajin dan
patuh. Dengan kata lain: sifat patuh adalah hasil penjumlahan dari sifat diam
dan rajin (tekun) yang dapat diformulasikan sebagai berikut: Setia = Tekun +
Diam. Jadi, pada tingkat pertama, kunci dari kesetiaan adalah diam dalam
ketekunan. Pada tingkat kedua, matelang merupakan integrasi dari sifat setia,
kuat (matang) dan seimbang (stabil), sehingga formulasinya adalah: Stabil =
Kuat + Rajin (makna kerja) atau Matang + Tekun (makna sifat). Taumata dalam
tindakan akan nampak dari kualitas fisik yakni perpaduan antara kekuatan dan
kerajinan, sedangkan taumata dalam psikhis akan nampak dari kombinasi
kematangan dan ketekunan. Bagi taumata Sangihe (Siau pada khususnya), karakteristik
dasar taumata menjadi kuat apabila landasannya dibentuk dari watak mateleng dan
matelang.
Bagaimanapun
kuatnya, keseimbangan pada tingkat matelang belumlah paripurna. Taumata
matelang meyakini bahwa kesempurnaan itu ada, berada pada ketiadaan. Jalan masuk
kesana adalah kesenyapan. Tingkat kemanusiaan taumata akan naik lagi pada
tataran berikutnya yang disebut sebagai mateling. Itulah sebabnya ada
tradisi mengamalre (bertapa) dalam kehidupan taumata tradisional, yang
umumnya dilakukan di dalam liang-liang yang sulit dijangkau oleh orang awam.
Dengan bertapa taumata lebih memperkokoh stabilitas antara mateleng dan
mateling dalam dirinya. Dengan bertapa taumata memperoleh pencerahan. Taumata
mateling pada akhirnya sanggup menata kualitas kematelingannya berdasarkan pada
kualitas kematelengan dan kualitas kematelangannya.
Mateling
merupakan kata kerja pasif sekaligus kata sifat yang mengandung tiga komposisi
makna integral, yaitu: seimbang, berhikmat dan diam (pasif). Dalam kondisi
mateling ini, kerja sebagai aspek fisikal (aktif) dalam pengertian harafiah
melemah seiring usia taumata (waktu), tetapi watak mateleng dan matelang makin
menguat. Penguatan terjadi pada saat taumata dalam kondisi keseimbangan
(matelang) melakukan kerja pasif. Kerja pasif itu adalah diam. Mateling dengan
demikian berada di posisi puncak yang terhubung ke mateleng dan matelang.
Mateling adalah pengendali mateleng dan matelang.
Pada
konstruksi bangunan sosial yang lebih kompleks atau yang sederhananya disebut
sebagai masyarakat, maka mateling adalah sasasa; yakni sebuah regulasi yang
mengatur tentang cara-cara sasalili (mateleng) dan sasahara (matelang) agar
senantiasa berada dalam keadaan malunsemahe. Taumata Mateling adalah taumata
yang dibentuk karakternya dari kemanunggalan mateleng dan matelang. Taumata
mateling sangat mahir berperan di tiga ranah ilmu pengetahuan yang mencakup
epistemilogi, ontologi dan praksis. Kepadanyalah semua orang berpaut, baik
mereka yang mateleng maupun mereka yang matelang.
Dengan
pemahaman kental tentang makna mateling seperti yang saya uraikan ini,
barangkali itulah yang menyebabkan orang Siau (Sangihe) sangat menghormati
leluhur mereka. Orang tua sampai akhir hayatnya tidak akan pernah
dipantijompokan, melainkan diurus sedemikian rupa oleh generasi-generasinya
hingga ajal menjemputnya, bahkan kubur leluhurnya enggan jauh dari rumah dimana
mereka tinggali.
Jika
anda berkunjung ke Siau, hampir di setiap sudut atau di samping rumah mereka
anda akan menemukan kuburan. Maaf, itu kubur (mateling) bukan kerkoft (budaya
asing). Anda dituntut hormat bukan takut.
Sumber: http://www.kompasiana.com/posts/type/opinion/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar