Madolangi yg hidup pada abad ke 13,
seorang pengajar kearifan tradisi laut setelah melakukan perjalanan laut ia mendirikan
kedatuan di Molibagu (Bolmong). Madolangi mempunyai cucu bernama Mokoduludugh
menikah dengan putri Tonaas Wangko Pinontoan yg bernama Baunia.Mereka kemudian
menjadi rumpun keluarga yang disebut sebagai "balagheng" atau "balagheng
nusalawo" menetap di Molibagu kemudian pindah ke bawah kaki
gunung Lokon tempat yg bernama "Malesung" dan mendirikan Kedatuan
Bowontehu. Kedatuan (kerajaan) Bowontehu meliputi wilayah penaklukan dari
Talaud hingga Kuandang (Gorontalo). Ibukota kedatuan berpusat di pulau yang
mereka namakan "Manarow" (sekarang Manado Tua) sedangkan wilayah
teluk Manado bernama Mandolang telah
menjadi bandar (pelabuhan) yang ramai pada abad ke 14.
Pada abad ke 15, persisnya tahun
1510 disebut sebagai awal pemerintahan kerajaan Siau. Kerajaan Siau didirikan
oleh putra Mokoduludugh yang bernama Lokongbanua II. Kerajaan Siau adalah salah
satu kerajaan nusantara yang pernah eksis selama lebih 4 abad, yaitu sejak
pembentukannya di tahun 1510. Masa akhirnya dapat diajukan pada tahun 1956, yaitu
setelah penguasa kerajaan ke-25, yaitu Presiden Pengganti Raja Siau Ch. David,
mangkat.Pusat kerajaan ini terletak di Pulau Siau (02o 45’ 00’’ LU
dan 125o 23’ 59’’ BT) yang kini di wilayah Kabupaten Sitaro.
Tepatnya merupakan salah satu kabupaten di perbatasan Utara Indonesia di Laut
Sulawesi ke wilayah laut Filipina. Pulau ini hanya berukuran luas tak lebih 100
Km2. Namun dalam kiprahnya kerajaan ini pernah mencakup daerah-daerah di bagian
selatan Sangihe, Pulau Kabaruan (Talaud), Pulau Tagulandang, pulau-pulau teluk
Manado dan wilayah pesisir jazirah Sulawesi Utara (Minahasa Utara), serta ke
wilayah kerajaan Bolangitan atau Kaidipang (Bolaang Mongondow Utara) bahkan
berekspansi armada lautnya sampai ke Leok Buol. Kerajaan ini dalam berbagai
catatan Belanda dan sejarahwan lokal di Manado, H.M. Taulu, pernah mengusir
armada Kerajaan Makassar yang menduduki wilayah Bolaang Mongondow. Tidak
terhitung juga menghalau para armada perompak asal Mindanao.
Meskipun wilayahnya kecil dan tidak
dikenal banyak orang Indonesia tetapi kerajaan ini pernah memegang peran di
bagian Utara dan Timur Indonesia. Hubert Jacobs, S.J. yang terkenal dengan
rangkuman serial sejarah wilayah Indonesia Timur Documenta Maluciensis, pernah
juga membahas kerajaan ini. Jacobs memulai tulisannya dengan uraian mengutip
perkataan seorang filsuf, ‘’kadang-kadang barang terkecil merupakan yang paling
sulit direngkuh’’. Begitu analogi Jacobs atas kerajaaan kecil Siau ini di
tulisannya. Mungkin karena Belanda pernah kesulitan hendak mencaploknya karena
kerajaan ini dilindungi Spanyol yang berpusat di Manila (Filipina).Tempat mukim
raja atau istana Kerajaan Siau tercatat berpindah-pindah. Tahun 1510 saat
didirikan oleh Raja Lokongbanua (1510-1549), kerajaan Siau dicatat berpusat di
tempat yang bernama Kakuntungan. Tempat itu kemudian berganti nama menjadi
‘Paseng’ pada tahun 1516, karena di tempat itu misi Katolik Portugis singgah
dan menyelenggarakan misa paskah yang bahkan turut juga dihadiri Raja
Lokongbanua. Tempat bernama Paseng itu kini masih ada hingga kini di Barat
Pulau Siau.
Meski misi Katolik sudah menggelar
acara misa itu, namun tahun itu tidak dapat serta merta disebut agama Katolik
telah dianut oleh kerajaan ini. Karena dalam catatan Portugis nanti pada tahun
1563 agama itu dianut oleh Raja Siau II, Posumah (1549-1587). Agama ini dibawa
oleh paderi Diego de Magelhaes dari Kesultanan Ternate. Misi Katolik itu dalam
catatan sejarah dikirimkan Portugis untuk mendahului kedatangan rombongan yang
diutus Sultan Khairun dari Kerajaan Ternate untuk membawa siar Islam ke
Sulawesi Utara. Rombongan ini bahkan langsung dipimpin Pangeran Baabullah. Raja
Posumah tercatat dibaptis menjadi Katolik di sungai besar di Kota Manado
merupakan raja kedua Siau dalam berbagai literatur Portugis dan Spanyol. Dia
dikenal dengan nama baptis, Don Jeronimo atau Hieronimus.
Dari Passeng, kemudian istana raja
pindah ke Pehe, Ondong dan di Ulu atau Hulu Siau. Terhitung Raja Posumah
memeluk agama Katolik kemudian pada zaman Raja Winsulangi kerajaan Siau layak
disebut sebagai kerajaan Katolik. Berbagai catatan paderi menyebutkan bagaimana
penyebaran misi Katolik difasilitasi dari Siau ke berbagai tempat di Sulawesi
Utara dan Tengah. Kejayaan kerajaan ini disebut dicapai pada masa raja Batahi
((1639-1678) dan anaknya, Raja Ramenusa (1680-1715).
Tercatat sebelum masa VOC/Belanda
pada tahun 1594 Raja Siau Ketiga Winsulangi (1591-1639) atau yang dikenal
dengan nama baptis Don Jeronimo Winsulangi mengikat perjanjian kerjasama
keamanan dan perlindungan dengan Gubernur Spanyol untuk wilayah Asia (Filipina)
di Manila. Sejak itu kerajaan Siau dijaga oleh Spanyol. Dua benteng pertahanan
di Pulau Siau yang sudah dirintis sejak Portugis, Santa Rosa dan Gurita, berisi
tentara Spanyol. Juga merupakan tempat mukim para Paderi Spanyol, Portugis dan
Italia. Nanti pada tahun 1677 Siau ditundukkan oleh Belanda dengan
mempergunakan Sultan Ternate Kaitjil Sibori sebagai pelaksana. Tercatat sejak 9
November 1677 kerajaan ini menjadi bagian dari wilayah yang tunduk pada
kehendak VOC-Belanda sebagaimana perjanjian Lange
Contract yang ditandatangani Raja Batahi. Di antara pasal penting yang
ditandatangani adalah kerajaan Siau harus beralih agama ke Kristen Protestan
Belanda.
Meski demikian, kerajaan ini
menjalin hubungan persahabatan erat dengan kerajaan-kerajaan Islam, seperti
kesultanan Ternate. Juga dengan Kerajaan Bolaang Mongondow dan Kerajaan
Bolangitan (Kaidipang) yang diislamkan Ternate. Setelah jatuh ke dalam
rengkuhan Belanda tahun 1677 para pangeran dan puteri kerajaan Siau tetap melanjutkan
tradisi kawin-mawin dengan pangeran dan puteri kerajaan-kerajaan tetangga.
Termasuk kawin-mawin dengan kerajaan Bolaang Mongondow dan Bolangitang yang
muslim.Raja Jacob Ponto merupakan salah satu pangeran hasil perkawinan antar
kerajaan itu di kerajaan Bolangitang. Ibu mereka adalah puteri asal Siau. Dia
merupakan salah satu pangeran di kerajaan Kaidipang. Dia diangkat menjadi raja
Siau ke – 14 oleh Komolang Bobatong Datu (Majelis Petinggi Kerajaan) yaitu
semacam lembaga legislatif yang dibentuk oleh Raja Winsulangi.
Memang majelis kerajaan ini sulit
menetapkan pengganti raja dari para bangsawan yang ada di Siau, karena itu
sejak raja ke 11 hingga ke 14 diambil dari pangeran yang berdarah Siau yang
berada di kerajaan tetangga. Jacob Ponto adalah raja Siau yang muslim.Jacob
Ponto tercatat memerintah selama 38 tahun. Pemerintahannya dihentikan Belanda
karena dia membangkang mengibarkan bendera Merah-Putih-Biru di halaman
istananya. Raja ini hanya mau mengibarkan bendera kerajaan berwarna merah putih
yang memang sejak lama sudah dipakai sebagai atribut kerajaan Siau, yaitu
terhitung sejak zaman Raja Winsulangi. Pejabat Belanda yang dikirim untuk
menggertak raja tidak berhasil membuat raja gentar. Raja juga tidak mau
menaikkan pajak kepala di Siau, serta tidak mau mengganti agamanya sebagaimana
isi perjanjian lange contract tahun 1677 antara VOC Belanda (Robertus
Padtbrugge) dengan kerajaan Siau (Raja Franciscus Saverius Batahi).
Pada tahun 1889, Belanda dengan siasat seperti yang
dilakukan pada Pangeran Diponegoro pada tahun 1830 menipu juga raja Jacob
Ponto. Wakil Residen Manado datang ke Siau dan memintanya naik ke kapal yang
sedang berlabuh di pelabuhan Ulu Siau. Belanda menyatakan ingin merundingkan
hal penting dengan raja. Namun pada saat di kapal itu malah raja Jacob Ponto
ditawan, selanjutnya dibuang ke Karesidenan Tjirebon. Tak heran di kalangan
masyarakat Siau raja ini terkenal dengan gelar ‘I tuang su Sirebong’ (Tuan Raja
di Cirebon).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar